Letaknya :
Siambalo terletak di sebuah desa bernama Huta Namora di pinggir Danau Toba, kurang lebih empat kilometer dari Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir. Di tempat itu telah didirikan Tugu SIMBOLON TUAN JUARA BULAN. Arti Siambalo :
Menurut Kamus Batak Toba yang disusun oleh J. Warneck, BALO adalah berbicara tentang hati = tidak marah lagi; balo roha = senang. Pabalo roha = paombun, menyenangkan orang = membuat hati senang dengan mendengarkan orang. Si dan am adalah imbuhan kata biasa dalam tata bahasa Batak, si menunjuk, am sebagai imbuhan, sebagaimana misalnya dilihat dari kata ‘ampapaluan’ (nama sejenis burung) berasal dari imbuhan am ditambah papaluan. Mungkin hal yang sama juga dengan Ambarita (nama sebuah marga) ?
Jadi nama Siambalo itu dapat diartikan sebagai “orang yang menyenangkan atau orang yang membuat senang orang lain”, Parbalbahul Nabolon, par amak na so ra balunon, par sangkalan na so ra mahiang (atau lebih tepatnya dapat diartikan sebagai Pemaaf, pengayom, penjamu, dsb).
Penduduknya :
Hampir semua penduduknya yang jumlahnya kurang lebih seribu orang beragama Katolik atau Protestan, dan secara umum bermarga Simbolon dari garis keturunan Op. Guru. Umumnya mata pencaharian penduduk Siambalo adalah bertani, membuat batu bata, mandaram (mencari ikan dengan memakai sejenis jala), dan mangaletek (membuat tikar, tandok, dsb). Bahan tikar dibuat dari bayon (pandan berduri) yang setelah pemprosesan menjadi berwarna putih. Dahulu ada liang (sejenis goa) tempat di mana para gadis (dan juga ibu-ibu) menganyam amak (tikar). Sekarang ini pekerjaan menganyam dilakukan i rumah masing-masing.
Sebagaimana kebanyakan generasi muda Bangso Batak maka generasi muda Siambalo juga pergi meninggalkan kampung halaman bila mereka telah dewasa, baik karena melanjutkan pendidikan maupun merantau untuk tujuan perbaikan ekonomi masa depan. Dewasa ini keturunannya telah tersebar di seantero nusantara dengan berbagai profesi. Suatu hal yang mengherankan tetapi juga membanggakan, bahwa di mana pun para perantau berada namun rasa cinta kampung halaman tidak pernah pudar. Mereka selalu ingin pulang minimal untuk berkunjung/ziarah/dsb.
Sejarahnya :
Sekitar tahun 1870 oleh pemerintah Belanda dibutuhkan tenaga-tenaga untuk kerja rodi, pembuatan jalan raya, membuat pelabuhan, dan sebagainya. Guna memudahkan penyediaan tenaga kerja maka penguasaan areal kepada para penguasa yang seudah ada dipersempit. Ketika itu penguasa daerah bernama Hapal Nagari dan berkedudukan di Rianiate memberikan wewenang kepada Raja Ompu Pagarbatu (generasi ke-7 dari Ompu Guru) yang isterinya Boru Siboro untuk mengelola dan menguasai sendiri desa Siambalo. Oleh Raja Ompu Pagarbatu dibentuk partungkoan di mana ditetapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan masyarakat, seperti kapan menanam padi, bagaimana dalam melaksanakan pesta. Pada masa penguasaannya itulah ditetapkan bahwa setiap parhutaan harus dikukuhkan dengan surat resmi (besluit). Kepada penghuni huta yang telah mempunyai besluit tersebut diberikan juga hak menguasai lahan sekeliling parhutaan itu seluas radius 30-50 meter untuk diolah menjadi lahan pertanian.
Pada generasi ke-8 dari garis keturunan Ompu Guru, sekitar tahun 1900 putra Raja Ompu Pagarbatu yang bernama Ompu Raja Pallagat dengan isteri Boru Sinaga yang secara adat menggantikan ayahnya membuat aturan-aturan menetap yang harus dipatuhi oleh seluruh marga yang ada di Siambalo (disebut si ualu tali). Ditetapkan pula bahwa lahan-lahan kosong yang tidak termasuk parhutaan dipakai untuk adaran (tempat penggembalaan kerbau). Penduduk yang ingin mengolah tanah dapat dibenarkan hanya untuk mengambil hasilnya saja, bukan untuk menguasai. Beberapa bidang tanah diberikan kepada beberapa marga, misalnya marga Sinaga untuk tempat tinggal atas alasan kekeluargaa, karena marga pengambilan boru, sebagian lagi untuk parhutaan, atau parbayonan, dsb.
Tahun 1908 semua parhutaan telah mempunyai besluit dan dan Ompu Raja Pallagat menetapkan anak pertamanya si Pangarandang menjadi hampung pertama di Siambalo.
Hasil pertemuan terakhir Pomparan ni Simbolon Tuan Juara Bulan pada tanggal 5 Juli 2007 di tugu Tuan Juara Bulan di Siambalo, telah disepakati bahwa lahan-lahan kosong tersebut akan dimanfaatkan untuk suatu usaha bersama Pomparan ni Simbolon Tuan Juara Bulan.
SYAIR UNTUK BUNDA LEANG NAGURASTA
kumenoleh ke belakang
jejak-jejak kakimu dan kakiku sudah terbenam
oleh tiupan angin hidup yang berkepanjangan penuh liku-liku
kucoba melukisnya kembali dalam ingatanku
dengan kuas yang telah tercabut bulunya dan rapuh
warna yang digoreskannya sudah buram
kucoba mendendangkan sebuah lagu
yang pernah membungai hatiku
tetapi bahkan telingaku
tak memahani iramaku
kutelusuri langkah kehidupan
menatap masa depan pada ufuk langit biru
sebuah suara kudengar dalam kegalauanku
suaramu dalam hatiku
beberapa buah bintang melintas
kutangkap – impas.
Mantap
BalasHapus