Kamis, 01 Maret 2012


dan bagi orang beriman "rumah" adalah tempat bertumbuh dan berkembangnya sikap cinta dan kesetiaan kepada Allah dan kepada sesama, juga antar sesama penghuni rumah.
Ke mana pun kita pergi, akan pulang ke rumah juga. Hati selalu ingat akan rumah, akan keluarga, dan lama-kelamaan ingatan itu semakin membentuk perasaan rindu, sehingga setelah selesai tugas seseorang dengan gembira kembali pulang ke rumah, berkumpul dengan keluarga. Di rumah kita menimba kekuatan baru, mendapat inspirasi untuk mengatasi berbagai problem dan tantangan hidup, bahkan bila seseorang dilanda kesedihan, kesusahan, kemalangan atau sesuatu yang membuat cemas maka di rumah perasaan itu seperti terobati. Ya, di rumah kita merasa aman dan tidak terancam.
Kebahagiaan keluarga bukanlah diukur dengan harta, kemegahan bangunan, komplitnya perabotan, tetapi keakraban dan kerukunan antar keluarga yang mencerminkan cinta kasih, suasana rumah yang nyaman, bersih, rapih. Tidak lupa pula bakti yang diberikan kepada orangtua, atau pengayoman yang lembut dari orangtua kepada anak-anak, atau pun perhatian kepada sanak keluarga lainnya yang tinggal bersama menjadi penghuni rumah.
Semua yang dikatakan di atas akan menjadi nyata,  menopang bangunan rumah menjadi lebih indah dan asri, menjadi dasar yang kokoh, sehingga bila ada angin topan (issu, provokasi) dan badai derita atau badai tantangan, bangunan keluarga tetap teguh tidak tergoyahkan.
Ringkasnya : Di   rumah tangga, rumah adalah tempat usaha, tempat ibadah, Bait Allah.




MEMASUKI RUMAH BARU
INKULTURASI DENGAN ADAT BATAK
(Bagian-bagian tertentu telah biasa dilakukan oleh Umat Gereja Roma Katolik)
Yang perlu dipersiapkan :
1.Benda-benda Rohani
      Salib (pakai corpus), untuk digantungkan di tempat yang strategis setelah diberkati,  misalnya di atas jenang pintu kamar tidur utama.
      Patung Hati Kudus Yesus, untuk intronisasi, maksudnya mempersilahkan Tuhanlah yang menjadi Raja di rumah itu (menyerahkan keluarga sepenuhnya dalam perlindungan Tuhan).
      Lilin (lambang terang yang mencerahkan pikiran untuk menjadi pelayan Tuhan memancarkan kasih Tuhan kepada sesama masyarakat di lingkungan kita).
      Air Suci (diberkati langsung di tempat, dan sisanya tinggal di rumah tersebut).
2.Benda-benda Jasmani (untuk ilkulturasi dengan adat)
      Boras si pir ni tondi (untuk diberkati imam, sebahagian untuk sarana adat dan sebahagian dicampurkan dengan beras yang akan dimasak keluraga itu untuk pertama kali pada besok paginya).
Umpasana :           Pir ma pongki, bahul-bahul pansalongan.
                  Pir ma tondi, tambaan ni Debata angka pangomoan.
      Nitak (tepung beras yang dijadikan adonan). Ajaran mengerjakan sesuatu dengan kehati-hatian dan ketelitian.
Umpasana:     Ndang na ingkat tu jolo umbahen gabe itak
                      Ndang na nanget di pudi umbahen na gabe nitak.
artinya : bukan karena terlalu cepat atau lambat sebuah pekerjaan berhasil (bukan faktor waktu saja tetapi lebih pada ketelitian dan ketekunan).
      Ansimun (timun)
Umpasana  : Ansimun sada holbung, pege sangkarimpang
                    Manimbung rap tu toru, mangangkat rap tu ginjang
(artinya : ajakan supaya keluarga sejalan, sependapat, sependeritaan, dan sejenisnya)
      Pisang (gaol) pangalamboki : Mengharapkan kiranya penghuni rumah berhati lembut, menyejukkan dan menyenangkan perasaan.
      Unte Pangir (Jeruk Purut), yang disayat keliling tujuh irisan,  melambangkan :
X  Tujuh Karunia Roh Kudus : (1) Kebijaksanaan (2) Pengertian (3) Pengetahuan (4) Nasehat (5) Kesalehan (6) Kekuatan, dan (7) Kepatuhan.
X Tujuh Sakramen (1) Permandian (2) Penguatan (3) Ekaristi (4) Pengakuan Dosa (5) Minyak Suci (6) Imamat, dan (7) Perkawinan.
X Tujuh Perbuatan Cinta Kasih Rohani (1) Menasehati yang ragu-ragu (2) mengajar yang kurang tahu (3) Menegur yang berdosa (4) Menghibur yang menderita (5) Bersabar, dan (6) Menghibur yang kemalangan (7) Berdoa untuk yang hidup maupun untuk yang telah meninggal.
X Tujuh Perbuatan Cinta Kasih Jasmani (1) Beri makan yang lapar (2) Beri minum yang haus (3) Beri pakaian kepada yang berkekurangan (4) Beri penginapan kepada pejalan (5) Mengunjungi yang sakit (6) Mengunjungi yang terpenjara, dan (7) dan mendoakan yang mati.
X Tujuh Hari, semua hari mulai dari Senin s/d Minggu adalah hari Tuhan, yang harus kita hargai dan pakai untuk memuji dan memuliakan namaNya, dan menggembirakan sesama.
Umpasana : -  Marsimu songon unte, martangga songon balatuk (artinya supaya hidup teratur, mengacu pada tatanan/aturan yang lazim, setelah Senin, Selasa, jangan terus langsung Kamis, harus Rabu dulu).
-    Unte pangir nihait tu jabu, unte godang nihutur di alaman
-    Halak na girgir dapot pasu-pasu, roha pe sonang, diramoti Tuhan  bdk : "Allah memberikan hidup sejati dan kekal kepada mereka yang tekun (girgir) berbuat baik untuk mendapatkan yang mulia, yang terhormat dan yang abadi. (Rom 2:7), dan ketekunan akan membuat orang tahan uji; inilah yang menimbulkan pengharapan  (Rom 5:4)
      Tentu juga harus dipersiapkan sarana adat untuk makan bersama, a.l. Pagori ni Sipanganon, itak gurgur, mual tio, dsb. (dengke dari hula-hula dan atau juga dari tulang).
Jalannya Upacara :
1.Di luar sebelum pintu dibuka (Pemilik rumah dan keluarga yang berkompoten berdiri berjajar meng"kanan'kan pintu).
1.1. Nyanyian Bersama, Tanda Salib, Tobat (supaya dengan hati yang bersih melaksanakan upacara ini), Doa Pembukaan.
1.2. Pemberkatan air yang akan dipakai untuk mereciki (manguras) rumah. Di dalam pasu sudah ada unte pangir (jeruk purut) disayat keliling tujuh irisan.
1.3. Pemberkatan boras si pir ni tondi dan kunci (di atas pinggan yang berisi boras si pir ni tondi, diletakkan kunci rumah). Boras si pir ni tondi adalah sarana yang menggambarkan  kemurahan Tuhan, sedangkan kunci menggambarkan sarana (sabda Tuhan) yang harus ditaati supaya dapat melewati pintu. Kata Yesus : "Akulah pintu. Siapa masuk melalui Aku akan selamat; ia keluar masuk dan mendapat makanan (kemurahan Tuhan)" (Yoh. 10:9).
1.4. Oleh Imam boras si pir ni tondi di"horas"kan ke arah pintu, kemudian tulang "manghorasi" bere & keluarga yang berkompoten dengan menaruh segenggam boras si pir ni tondi di atas ubun-ubun mereka.
1.5. Selanjutnya imam mereciki pintu rumah dan memberikan kunci rumah (yang sudah diberkati imam) kepada Nyonya Rumah untuk membuka pintu (menggambarkan bahwa isteri selalu terjaga untuk membuka pintu bila suami atau anak-anak kembali ke rumah).
Catatan : bila Nyonya Rumah sudah tidak ada maka kunci diberikan kepada tulang (saudara ibu dari pemilik rumah) yang mengambil posisi berdiri di samping pintu (meng"kiri"kan pintu), untuk membuka pintu, oleh tulang lalu mempersilahkan masuk kepada berenya (pemilik rumah dan keluarga yang berkompoten.

2.       Urutan masuk rumah (bila mungkin sebaiknya) diatur sbb. :
X Tuan rumah (suami, isteri, anak-anak, orangtua, saudara), lalu berdiri berjajar dalam rumah meng"kiri"kan pintu, kemudian menyalami semua orang yang masuk ke dalam rumah.
X Keluarga sangat dekat (dongan tubu, boru, bere, dsb)
X Raja na ro, Dongan sahuta, Dongan sahuria, rombongan lainnya,
X dan terakhir Hula-hula, Tulang, dan Imam.
Dongan sahaporseaon (se lingkungan) masing-masing mengambil posisi sesuai tatanan ke"batak"an. Tulang/hula-hula sebelah kanan dari Hasuhuton, Boru/bere dan kelompoknya di sebelah kiri, Dongan Sahuta/sahaporseaon berhadapan dengan hasuhuton. Imam di antara hula-hula dengan Dongan Sahuta.
3.       Acara ibadah/misa dilanjutkan.
3.1. Sesudah homili dilakukan perecikan semua ruangan.
      Mengingat bahwa yang hadir tidak semuanya Katolik diperlukan penjelasan ringkas tentang perecikan ruangan guna menghilangkan kesan animisme.
3.2. Doa Umat yang dibawakan semua unsur yang hadir (1) Tuan rumah (2) huria (3) hula-hula atau tulang, (4) boru/bere/boru namatua, dan (5) dongan sahuta. Bila acara dilanjutkan dengan Misa maka langsung dilanjutkan dengan Offertorium / Liturgie Ekaristi).
      Catatan :Biasanya ulaon mamasuki sibagandingtua (masuk rumah baru) dihadiri juga oleh saudara/family/dsb yang bukan Katolik. Artinya harus diumumkan bahwa yang menyambut adalah Katolik berusia pantas yang sudah dipermandikan.
4.       Biasanya, acara langsung bersambung tanpa sela (ketika nyanyian penutup maka pagori sipanganon langsung dibawa oleh pamoruon ke tengah ruangan di depan Tuan Rumah. Acara adat  dimulai dengan pangupaon pagori ni sipanganon kepada Tuan Rumah oleh orangtua kandung atau bapatua/bapauda (partuturonnya setingkat di atas tuan rumah).
Catatan :  Semua pagori diserahkan, nanti pada waktu makan maka bagian-bagian jambar tertentu dibagikan kepada yang berhak menerimanya.
5.       Dilanjutkan dengan pemberian dengke dan ulos, oleh :
X  Hula-hula (orangtua/saudara dari isteri) biasanya langsung dengan ulos.
X  Tulang
X  Oleh yang berkompoten (yang layak mangulosi).
Catatan :Yang sebaiknya diucapkan ketika menyerahkan dengke
. "Dengke tio, asa tio panailian, dengke simudur-udur asa marudur angka las ni roha, dengke saur asa saur ma angka  parsaulian dohot pangomoan,dengke sahat asa sahat solu sahat tu bonten ni Tigaras, hipas jala leleng mangolu dapot panggabean jala horas-horas.
6.       Selanjutnya acara makan bersama. Pada kesempatan itulah dibagikan jambar sesuai dengan tata-cara yang lazim.
7.       Selesai makan, setiap tatanan kefamilian berbicara sesuai kapasitasnya.
8.       Huta paampuhon, suhut mangampu

Kamis, 23 Februari 2012

Gondang Toba

 Huhuasi / Kata Pengantar
Tulisan ini berbicara tentang Gondang Sabangunan (orkestra Batak Toba), sekedar membagi pengalaman tentang sarana, tata-cara, serta mencoba menggali pengetahuan praktis tentang pelaksanaannya.
Prinsip pertama penulis dalam memulai tulisan ini adalah menghargai setiap perbedaan pelaksanaan adat istiadat maupun tata-cara di berbagai tempat dan menjadikannya sebagai kekayaan budaya yang masih perlu digali, dipelajari, dan dilestarikan. .
Ompunta na jolo martungkothon sialagundi
Pinungka ni na parjolo ihuthonon ni na parpudi
Sialagundi tongkat nenek-moyang
Hukum lama hendaknya diikuti
Dewasa ini umpasa/umpama  di atas telah disesuikan dengan perkembangan zaman, diinkulturasikan atau dimodernisasikan menurut agama, tempat, kumpulan, dsb. Sehingga muncullah umpama baru yang mengatakan :
Mumpat talutuk , sega gadu-gadu
Salpu  uhum na buruk, ro ma uhum na imbaru
Patok tercabut,  rusak pematang sawah
Hukum lama batal, datang hukum baru
 “Muba tano, muba duhutna.
Muba Huta muba uhumna”
Beda tanah, beda rumputnya.
Beda kampung beda peraturannya

Pepatah yang sama “lain lubuk, lain ikannya” yang dapat diartikan bahwa adat atau kebiasaan berbeda menurut tempat, marga, atau kumpulan lainnya.
Demikian pula halnya tata cara pelaksanaan Gondang Sabangunan yang selalu ditemukan perbedaan (lebih tepat disebut variasi) di berbagai tempat. Bila penatua kampung di suatu luat (negeri) lebih terbuka maka diambillah jalan keluar yang praktis “aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut” (air laut luas sekali, kata sepakatlah yang jadi), artinya sepakat saja mau berbuat apa meskipun tidak serupa dengan yang biasa. Tetapi adakalanya penatua kampung tetap pada kebiasaan atau adat setempat dan berkata “si dapot solup do na ro” artinya pendatang harus ikut dengan adat kebiasaan setempat.
Urutan ‘manortor’(menari) pun  juga mengalami hal yang sama. Ada yang mendahulukan tulang (pihak ibu) atau hula-hula (pihak isteri), handai tolan, kemudian Dongan Tubu (teman se marga) dan kemudian Huta paampuhon (penatua kampung menutup acara), selanjutnya diakhiri Hasuhuton  mangampu (yang berpesta mengatakan ucapan terima kasih). Ada luat justru melaksanakan urutan sebaliknya, bahkan ada yang disusun sesuai kebutuhannya saja.
Jadi dalam tulisan diupayakan mengumpulkan rupa-rupa pengalaman yang pernah dilihat, dialami, atau didiskusikan, tidak ada maksud untuk menerapkan suatu pola/standard tertentu, melainkan hanya lebih bersifat membagi pengalaman, kecuali memang bila temuan tetang hal-hal yang menarik seperti sisi ritualnya dan lain sebagainya diharapkan memberikan sesuatu yang dapat diserap menjadi pembanding atau sekedar membantu untuk menemukan panduan yang lebih sesuai.
Bah Jambi 25.12.1999
Amani Ujung Simbolon
(Penyusun)

Musik Batak
Karena tulisan ini akan membicarakan tentang Gondang Sabangunan, yaitu musik Batak Toba yang dipakai sebagai sarana ritual atau hiburan, maka ada baiknya lebih dahulu diuraikan sekilas tentang jenis musik Batak.
Musik Batak dimainkan dengan berbagai jenis alat musik baik secara bersama (orkestra) maupun solo, a.l.:
    Gondang Sabangunan (orkestra Batak Toba), pemainnya disebut pargual-pargonsi. Gondang sabangunan dimainkan oleh delapan orang (susunan ini disebut pangeran), bahkan oleh lebih dari jumlah itu. Alat musiknya terdiri dari lima buah tagading, sebuah gordang, satu atau dua buah serunai, empat buah ogung (gong) yang masing-masing berbeda ukuran dan tebalnya  disebut saparangguan, masing-masing dinamai : panggora, doal ( panonggahi), ihutan, dan oloan, serta sebuah hesek (besi atau sejenisnya untuk alat pengatur ritme).
    Uning-uningan (sejenis orkestra juga) dapat dimainkan oleh hanya empat lima orang. Alat musiknya terdiri dari serunai kecil, hasapi/kecapi (sejenis gitar yang hanya punya dua senar tanpa grip), seruling, hesek, dan garantung (terdiri dari lima atau tujuh lempengan kayu yang berbeda ukuran, tebal, dan nada yang dihasilkannya).
    Alat musik yang dimainkan oleh hanya satu orang saja, misalnya :
•    Jenggong, alat musik dengan bahan besi, mirip saga-saga, ditiup dengan dengan lidah yang digetarkan di depan mulut. Wanita biasanya lebih pandai memainkannya.
•    Hapetan, sebenarnya adalah kecapi dengan bentuk yang berbeda. Sering dibawa ke pantai, dimainkan sambil menunggui doton (sejenis jala panjang) menjerat ikan. Atau oleh pemuda menghibur para gadis yang sedang menumbuk padi.
•    Odap,  sejenis gendang kecil yang kedua sisinya ditutup dengan kulit (mangodapodapi artinya memukul dengan keras kedua sisi odap itu untuk tujuan menyemangati).
•    Sordam, sejenis seruling yang dipakai untuk memanggil arwah, biasanya lebih besar dari seruling dan dihembus dari ujung/pangkalnya.
•    Sulim, suling, alat tiup dari bambu. Salah satu pangkalnya terbuka. Mempunya 8 lobang, satu untuk tempat meniup dan 7 (6 di atas dan 1 di bawah) untuk mengatur nada.
•    Salohat, suling yang lubang tiupannya ada di tengah-tengah.
•    Tulila, sejenis seruling kecil. Lobang atas empat buah, di bawah satu buah, suaranya merdu dan tajam. Para gembala sering membawanya menjadi pengisi waktu senggang.
•    Saga-saga, sejenis tulila,  harmonica mulut terbuat dari serat bambu atau enau. Alat ini biasanya menjadi bunyi-bunyian bahasa cinta antara orang muda. Kedua tangan memegang ujungnya dan menarik-narik ke kiri-kanan sembari mengeluarkan nafas perlahan. Kekuatan nada diatur dengan mengangakan atau menyempitkan mulut.
•    Salempang, mirip tulila/sagasaga. Harmonika dari hodong (pelepah) ditarik-tarik hingga menimbulkan getaran di depan mulut.
•    Talatoit, (bentuk yang sama dengan tulila) seruling kecil terbuat dari ruas bambu yang kecil dan panjangnya antara 15-50 cm. Biasanya dipakai pada malam hari oleh orang yang ingin mengungkapkan perasaan cinta, kesedihan, kecemasan, harapan, dsb.
Gondang Sabangunan
Gondang Sabangunan digelar untuk suatu hajatan yang melibatkan kehadiran banyak orang, baik sebagai hiburan/pesta maupun untuk acara ritual.
Pada hakekatnya hampir semua pesta gondang sabangunan ada keterkaitannya antara orang yang masih hidup dan arwah/roh orang yang sudah meninggal, baik berupa pemujaan, memperingati atau setidaknya ada dalam kata-kata pengantar.
Lembaga agama dewasa ini begitu gigihnya campur tangan dalam mencoba menginkulturasikan visi dan misi adat-istiadat dalam pelaksanaan pesta gondang dengan visi dan misi agama.
Peralatan Gondang Toba ada lima macam, sbb. :
1.    Tagading, terdiri dari lima buah gendang yang hampir bersamaan besarnya, terbuat dari kayu. Lobang atas ditutup dengan kulit diikat dengan rotan, menyuarakan notasi do, re, mi, fi, sol dimainkan oleh satu orang. Sebagaimana pada banyak bangsa lain yang memakai tagading (gendang) dalam bentuk yang berbeda-beda sebagai sarana ritual atau hiburan, demikian juga tagading pada bangsa Batak. Bentuknya juga berbeda-beda, ada yang pendek, panjang, kecil, atau besar. Di Mandailing bentuknya besar-besar,  di Tanah Karo kecil-kecil. Di Dairi, Simalungun, dan Toba bentuknya dapat dikatakan sama.
2.    Gordang, sebuah gendang yang lebih besar berfungsi membantu ritme bass. Cara pembuatan-nya sama dengan pembuatan tagading, bagian atasnya ditutup dengan kulit sapi. Panggordangi (pemukul gordang) biasanya sekali-sekali berteriak memberi semangat kepada pemusik lainnya.
Dahulu ada kebiasaan setelah datu selesai dengan acara ritual pembukaan gondang (disebut gondang sipitupitu) maka Hasuhuton dipanggil naik ke balkon atas untuk 'buha gordang'. Hasuhuton memukul gordang sebagai pertanda acara gondang dimulai. Dewasa ini buha gordang tidak populer lagi karena memulai acara godang telah diserahkan kepada Pengurus Gereja.
3.    Sarune (serunai), musik tiup terbuat dari kayu bulat yang dilobangi lima lobang untuk mengubah suara, empat di sebelah atas dan satu di sebelah bawah (serunai kecil terkadang dibuat dari bambu saja). Di bagian mulut ditempelkan ipit-ipit, sejenis selongsong pipih yang dapat diganti-ganti. Cara memainkannya dengan meniup. Selama meniup maka pemain menghirup atau membuang udara hanya melalui hidung saja, hal ini bisa dilakukan hingga lebih 30 menit.
4.    Ogung (gong) sebanyak empat buah, disebut saparangguan, masing-masing bernama panggora, doal, ihutan, dan oloan (nama-nama sesuai dengan susunan letaknya bila dimainkan). Masing-masing ogung dimainkan oleh satu orang, tetapi kadang-kadang ihutan dan oloan dapat dimainkan oleh satu orang. “Doal” atau “panonggahi” (nada sol), dimainkan dua kali lebih cepat daripada “panggora” (nada sol) juga, atau empat kali lebih cepat dari ihutan (nada mi) dan oloan (nada do). Oloan adalah ogung yang sedikit lebih besar dari ketiga ogung lainnya dan dimainkan berganti-ganti dengan ihutan pada tempo yang tetap. Karena ke empat ogung ini menyuarakan notasi mi, sol, sol, do, maka perpaduan suara ogung itu bila mengikuti orkestra/gondang terdengar menjadi sol-mi-sol, sol-do-sol.
5.    Hesek, suatu alat ketukan ritme. Bisa dari dua batang besi yang saling dipukulkan. Dewasa ini ada yang hanya memakai botol dan sendok.
Jenis Pesta Gondang :
Dapat dikatakan bahwa nama jenis pesta gondang adalah sesuai dengan tujuan atau tata-caranya, jadi jumlah jenis dan tujuan gondang itu sangat banyak. Namun secara umum semua jenis tersebut dapat dikategorikan menjadi lima jenis pesta gondang saja, yaitu :
1.    Gondang Dalan, sejenis prosesi. Alat orkestra tidak lengkap dimainkan, hanya dipakai sarune, satu atau dua taganing, ogung, dan hesek. Suatu cara menghormati dan menyambut tamu terhormat. Gondang yang sama adalah Mangogungi,  tetapi jenis ini lebih memberatkan penghormatan kepada orang yang meninggal.
2.    Gondang Sahala (Gondang Mamele).
    Gondang Mandudu, memanggil roh halus (bisa nenek moyang atau roh yang dianggap penguasa alam) untuk suatu tujuan tertentu. Mis. untuk memohonkan kesuburan tanah, panen yang berlimpah, keselamatan dan kesehatan, kerukunan, kebahagiaan, dll.
    Gondang Daung, menggantungkan seekor ikan  dan menari untuk menghormati arwah nenek moyang serta mohon campur tangan arwah nenek moyang dalam kehidupan di dunia nyata. Mis. memohon ilmu kebal, pidoras (pukulan berlipat ganda kekuatannya), aji marulak (supaya orang merasakan apa yang diperbuatnya, mis. yang memukul kitalah  yang merasa sakit atau luka pada bagian tubuh kita yang dipukulnya, sementara yang dipukul tidak merasakan sakit).  Untuk hal seperti ini biasanya dipakai ihan batak/ jurung. Tetapi bila untuk  kepentingan ilmu gaib/sihir maka adakalanya para datu mengganti dengan ikan paniasi (ikan raja), insor (sejenis ikan gabus yang kecil sekali), atau halu (sejenis ikan sepat yang beratnya bisa mencapai sepuluhan kilogram).
3.    Gondang Saem, mengorbankan sesuatu (biasanya hewan : kerbau, lembu, kambing) kepada roh nenek moyang (makhluk halus/begu)  sebagai pengganti orang sakit. Maksudnya supaya penyakit orang itu pindah ke hewan korban.
4.    Gondang Sarapa, jenis yang hampir sama dengan gondang saem untuk kesembuhan penyakit atau buang sial, tetapi pengganti orang sakit dibuatkan patung-patungan dari batang pisang.
5.    Gondang Horja, sejenis pesta sukacita di mana hasuhuton dalam pesta itu mengorbankan beberapa ekor hewan. Di samping hewan yang dimakan pada waktu penyelenggaraan pesta, seekor di antaranya (biasanya kerbau atau kuda) diikat pada lahatan / borotan (sebatang kayu pilihan, biasanya diambil dari hutan sesuai ketentuan datu , tonggak kayu tersebut kemudian dihiasi dengan daun-daunan dan bunga). Setelah pesta usai, hewan kurban itu akan dipotong-potong mentah di tempat ketinggian (sejenis dangau), hal ini disebut marpansa. Potongan-potongan daging tersebut dibagi-bagikan kepada keluarga dan teman sekampung menurut jambar  yang telah ditentukan.
Pada orang Batak, kematian seseorang yang sudah tua  dikategorikan sebagai pesta sukacita juga, itulah sebabnya sering pula nama gondang memperingati arwah leluhur ini disebut sebagai :
    Gondang Manuk (Sahorja Manuk) pesta gondang untuk menghormati arwah nenek moyang hingga generasi ke empat.
    Sahorja Lombu, pesta penghormatan arwah hingga generasi ke delapan,
    Sahorja Horbo, pesta penghormatan arwah hingga generasi ke sepuluh dan seterusnya.
    Gondang Sitarahuak, pesta khusus untuk hasuhuton/keluarga perhelatan pesta saja yang dilaksanakan selesai acara pesta, ketika akan memakan jambar / upa suhut (mar sipitu dai) . Gondang ini adalah gondang yang berdiri sendiri sebagai lanjutan dari Gondang Horja. Gondang seperti ini sudah sangat jarang dilaksanakan.
6.    Gondang Ria
    Gondang musiman yang biasanya dilaksana-kan pada musim panen, atau dewasa ini diselenggarakan pada sat liburan sekolah. Pesta ini melibatkan muda-mudi (naposo) dari berbagai tempat dan dimanfaatkan menjadi ajang pendewasaan muda-mudi, berkenalan, bergaul, dan mencari jodoh. Para orangtua hanya berperanan sebagai pemandu memperkenalkan seni Batak, mengajari cara menari yang benar, dan bila mungkin menjembatani hubungan antar muda-mudi itu (sipadomudomu = sejenis mak comblang).
    Gondang Dalu, pesta gondang sederhana yang dibuat ketika mengadopsi seorang anak (dahulu yang diadopsi biasanya adalah anak hatoban/budaknya). Si anak dinobatkan memakai marga yang mengadopsi, sedangkan si ibu yang melahirkan hanya punya kesempatan untuk menjadi inang pengasuhnya saja.
Tempat Margondang :
Dahulu pargual-pargonsi memainkan alat-alatnya di halang gordang, ruang atas sebelah kanan balkon rumah bila yang manortor ada di dalam rumah. Posisi itu akan pindah ke sebelah kiri atas balkon rumah bila yang manortor berada di luar rumah ( di pekarangan).
Dewasa ini pesta gondang sudah jarang dilakukan di ruma-batak maka pemposisian tempat pargual-pargonsi ditentukan sesuai kondisi saja. Mungkin membuat pelataran khusus, atau bahkan hanya di halaman saja. Sementara yang manortor bisa di dalam rumah, bisa juga di luar rumah.


Apa yang harus dipersiapkan ?
Yang pertama dipersiapkan adalah “Santi”, yang nantinya akan diberikan kepada pargual-pargonsi. Apa santi ini dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini :
Pada umumnya Bangso Batak mempercayai lima tingkat kehidupan, yaitu : (1) bortian/kandungan, (2) tubu/lahir, (3) magodang/dewasa, (4) marpinompar/ berketurunan, (5) mate/mati.
Rumus tingkatan falsafah ini hampir bersamaan bila dikaitkan dengan rumus alam pada agama-agama kuno, yaitu :
(1)    Aek/air = bortian/ kandungan : janin hidup dalam air.
(2)    Tubu/lahir = alogo/angin : diberitakan, dikumandangkan kelahirannya dan dibanggakan
(3)    Api = magodang /dewasa : memancarkan cahaya kehidupan, telah dapat berbuat dan bertanggungjawab bagi dirinya dan bagi orang lain
(4)    Hau/kayu = marpinompar : beranak-pinak seperti pohon dengan cabang dan  rantingnya, dan
(5)    Tano/tanah = mate/mati : setelah meninggal kembali menjadi tano/tanah.
Demikian juga santi, sarana ritual yang diberikan kepada pargonsi ketika akan memulai pesta gondang sabangunan,  hendaknya dipersiapkan setidaknya lima jenis sarana, a.l. :
1.    Tandok, sumpit , balbahul.
Sejenis bakul pandan, berbentuk bulat. Bagian atasnya terbuka dan berrumbai, tinggi + 15-20 cm, lebarnya + 15 cm, menjadi wadah : melambangkan bortian/ kandungan, yang pada hakekatnya mengartikan hati nurani yang bersih sebelum memulai pesta.
Balbahul do tandok, nanirahut ni pandan
Elek hata mandok, hot ma parsaoran
Padan ma niingot, jumpa ma  naniluluan
Diulahon ma jamot, dapot nanijalahan.
Bakul diikat pandan
Bicaralah lembut, supaya tetap pergaulan,
Ingat janji, supaya dapat yang diinginkan
Bekerjalah dengan tekun, supaya berhasil yang dicita-citakan.
2.    Si marmiak-miak (telur ayam).
Lambang ke”lahir”an. Kotekan ayam dengan suara nyaring mewartakan ke seluruh penjuru (terdengar suara melalui angin) bahwa sudah ada kelahiran. Manusia lahirpun diwartakan dengan berbagai ragam pesta : Hesek-hesek, mangharoani, mamboan aek ni unte, dsb. dengan harapan supaya anak yang lahir itu sukses dan sehat (asa miak). Pesta juga agar berjalan dengan lancar.
3.    Parbue pir (beras).
Lambang kedewasaan dan keberhasilan hidup. Setiap manusia ingin menjadi manusia yang berguna, memberikan yang terbaik dan terhangat (api/dewasa dan bertanggungjawab) bukan hanya bagi dirinya sendiri saja tetapi juga bagi orang lain, bijaksana dan berpengetahuan luas. Keberhasilan hidup adalah bila sudah memiliki : hagabeon (berketurunan), hamoraon (sejahtera karena mempunyai kekayaan), hasangapon (dihargai, dihormati, dimuliakan), dan hahipason (bahasa yang lebih tepat menurut orang Batak adalah horas-horas). Jadi bila memberikan berkat (pasu-pasu) maka sarana utamanya adalah beras, yang dimaksudkan menyemangati jiwa (seperti api yang menghangatkan dan mendewasakan). Dengan demikian diharapkan atau dipercayai bahwa yang menerima pasu-pasu (berkat) itu akan berhasil mencapai hamoraon, hasangapon, hagabeon, dan horas-horas sebagaimana dilambangkan oleh beras itu.
Situmbur ni pongki, parindahanan pansalongan
Pir ma tondi , lu ma panamotan
Kecambah pongki, jadi sumpit keberuntungan
Kuat jiwa/roh, murah rejeki
Boras parhorasan, ulos sampe-sampean
Ro ma parsaulian, sahat nang panggabean
Beras tabur untuk parhorasan, ulos menghangatkan
Datang keberuntungan, bertambah keturunan.
4.    Ringgit Si Tio Suara (Uang)
Melambangkan hamoraon (kemakmuran) dan hagabeon (berketurunan) yang lengkap pada masa tua. Putra-putinya hendaknya sudah semua berkeluarga, pekerjaannya menjamin masa depan, sudah punya pahompu (cucu) bahkan punya (nini-nono) cicit, dan bila mungkin hingga marondokonrok (piut), dengan demikian kelak layaklah menyandang gelar “saurmatua” atau “saurmauli bulung” bila meninggal.
Ringgit si tio soara, eme saringarna
Gabe natua-tuana, patimbohon muse pomparanna
Uang, lunak tak terasa tapi nyaring suaranya
Berhasil orang tuanya, terlebih lagi keturunannya
Dengke sitiotio niupahon ni hula-hula
Ringgit sitio soara balosanni pamoruonna
Sinur ma napinahan gabe ma naniula
Silehon pasupasu lam tamba hasangaponna
Ikan diberikan hulahula,
uang diberikan pihak borunya
Banyak hewan piaraan, berlipat ganda pula hasil kerja
Yang memberikan berkat akan semakin dihormati pula
5.    Demban Tiar (Napuran) / Demban Mauliate.
Lambang pengucapan syukur kepada Mulajadi Nabolon (Allah Pencipta) atas berkat dan karunia yang boleh kita nikmati dalam hidup, terlebih bila mencapai umur yang panjang (lanjut usia) dan masih sehat pula. Kita sudah puas menerima dan menikmati karunia Mulajadi Nabolon, dan sekiranya meninggal pun (mate/tu tano) sudah rela.
Napuran tano-tano,
tiga-tiga ni namarbaju di onan panahatan
Timboan Debata sian sude parbinoto ,
dilehon do pasu-pasu dipaganda parbinotoan.
Napuran tano-tano (Sirih yang tumbuh di pekarangan)
Barang dagangan gadis di pekan panahatan
Pengetahuan Tuhan tidak terukur
Menganugerahkan berkat dan ilmu pengetahuan.

6.    Lain-lain
Pada beberapa kesempatan bisa dilihat juga beberapa sarana lain diikutkan dalam santi atau ketika memulai gondang,  mis. :
6.1.    Anggir (Jeruk Purut). Bila sarana ini diikutkan maka wadahnya (bortian/ kandungan) biasanya bukan tandok yang berisi beras, tetapi pinggan pasu yang berisi air. Untuk mereciki dipakai bulung rata (tangkai dan daun yang hijau). Demban (daun sirih) ada kalanya disertakan juga, tetapi acara ritual ini lebih banyak dipergunakan untuk pangurason (penyucian). Lembaga agama dewasa ini telah memanfaatkannya acara ritual ini untuk manguras (menyucikan) pargual-pargonsi, sarana godang, lokasi pesta, hasuhuton dan keluarga, dsb.
6.2.    Gambiri / Kemiri, adalah minyak yang yang melambangkan melicinkan jalannya usaha manusia hingga berhasil meniti hidup.
Ada lembaga gereja yang sudah sedemikian dalam inkulturasinya dengan acara gondang sehingga sebelum gondang dimulai maka lebih dahulu seluruh sarana didoakan, diuras (disucikan) dengan air (bisa air jeruk purut juga), temasuk juga manguras (menyucikan) hasuhuton, pargual-pargonsi, hadirin, dsb.
JENIS LAGU GONDANG MENURUT URUTANNYA
Beberapa hal yang perlu diingat :
    Gondang dimulai dengan lagu “Alu-alu” yang kadang-kadang dilanjutkan dengan godang “somba”.
    Sejak gondang “alu” s/d “gondang sipitupitu” para penari belum boleh menggerakkan tangan / tubuh (belum manortor).
Kedua hal di atas adalah acara ritual yang dewasa ini sudah dimodifikasi (diinovasi) atau diinkulturasikan oleh berbagai pihak gereja.
    Aturan gerakan tubuh (tangan/kaki,dsb) kiranya memperhatikan hal-hal berikut :
•    Gerakan tubuh (manortor) dimulai setelah sarune dibunyikan.
•    Tangan tidak boleh melewati bahu/telinga ketika manortor.
•    Sikap tangan boru menyembah, dan hula-hula merentangkan tangan ke depan.
Sebelum godang dimulai, maka terjadilah dialog (marsisungkunan) antara hasuhuton dan pargual-pargonsi. Hasuhuton memberikan santi sebagimana telah dibicarakan di atas.
Hasuhuton = H    Pargual-Pargonsi = P
P.    (Setelah menerima santi dari Hasuhuton, lalu menyebutkan satu persatu isi santi dan artinya sesuai dengan harapannya, lalu mengakhiri) Dia laklakna, dia ma unokna, dia ma hatana, dia ma nidokna (Menanyakan apa maksudnya).
H.    (mula-mula bersyukur pada Tuhan, dapat juga mengulangi dengan ringkas apa isi santi dan menerangkan arti menurut keinginannya dengan bahasa yang merendah, kemudian mengakhiri) Tintin natinopa, golang-golang pangarahutna, otik so sadia pe santi nanilehonnami i, sai godang ma pasu-pasuna. Si gabe-gabe, si horas-horas do.
(Hasuhuton tidak langsung berbicara tentang maksud dan tujuan, tetapi lebih dahulu mohon pengertian atas kesederhanaan sarana santi yang diberikannya).
P.    Bagot na marhalto niagatan di robean, horas ma hami namanjalo, sai tamba ma singkap ni di hamu namangalean. (masih dapat dikembangkan dengan mengungkit keberhasilan hasuhuton, dsb. lalu diakhiri) Marangkup do nauli mardongan do na denggan, si angkupna songon na hundul  si donganna songon na mardalan. Barita ni panggabean parhorasan tung tangkas ma hamu marboa-boa.
H.    (mulai menjelaskan maksud dan tujuan perhelatan pesta gondang tersebut) I ma tampakna, i ma tabona. I ma hatana, i ma nidokna.
P.    (memberikan dukungan atas niat hasuhuton) On ma santi madingin, santi matogu, hata na nilaning sai dapotan pasu-pasu. Asa tandang tu Parranginan, luat parrantoan ni Tuan Juara Bulan, jumpa ma naniluluan sai dapot nanijalahan, lu ma pansamotan, maraduadu ro parsaulian, sahat ma panggabean, hot ma parhorasan – i ma tutu., (kemudian pembicara pagual-pargonsi mendaulat hasuhuton itu untuk memukul gordang. Peristiwa ini disebut “buha gordang”, artinya acara gondang sabangunan sudah resmi dimulai. Pargonsi memberikan sejumput beras dan sebahagian uang santi itu kepada salah seorang pamoruon yang  mendampingi hasuhuton. Nantinya beras itu akan dipakai untuk manghorasi, dan uang itu dibagikannya kepada sesama boru untuk  menjadi santi-santi awal, sejenis pemancing untuk menyemangati pargual-pargonsi).
    (Setelah hasuhuton & pamoruonnya sudah kembali ke tempat manortor, maka pargonsi melanjutkan) On ma pinggan puti, pinggan ribar, pinggan pasu, tineanni ulos tangki. Gondang sipitupitu, mangelek parhorasan nang pangaramotion sian Ompunta Mulajadi.
    Asa tio ma songon baba ni mual rintar songon bonang, tiur songon mataniari rondang songon bulan, mangelek ma hita tu Ompunta Mulajadi, dao ma halangan, hot ma parhorasan – i ma tutu.
    (Lalu dimulailah gondang sipitupitu, semua hadirin diminta menikmati saja, karena belum bisa manortor hingga selesai gondang sipitupitu itu).
    Setelah gondang sipitupitu, mulailah peranan maminta gondang oleh hasuhuton dan hadirin yang hadir.
Keseluruhan acara ritual di atas di sebut dengan nama "Mambuat Tua ni Gondang" yang dewasa ini sering tidak dilakukan lagi, karena lembaga agama telah menginovasi tata-cara itu dengan tata-laksana gereja. Setidaknya sebelum hal di atas dilakukan maka lembaga gereja membuat acara lebih dahulu untuk memulai gondang tersebut.
Biasanya hanya ada tujuh jenis lagu gondang, sbb. :
1.    Gondang Mula-mula.
Gondang ini sangat singkat, para penari hanya menjulurkan tangan seperti menyembah, dapat menggerakkan tubuh tetapi tetap di tempat.
Sebelumnya hasuhuton meminta Gondang Alu-alu lebih dahulu kepada Ompunta Mulajadi, kepada simangot (roh) leluhur, dan raja na ro dan naliat na lolo (hadirin).
Umpasa untuk meminta gondang :
Amang pargual pargonsi.
Marmula do na uli marmula do na denggan, tumpahon ni Ompunta Mulajadi do panggabean nang parhorasan.
Asa Sianjurmulamula, Sianjur Mulatompa,
Parsirangan ni aek pardomuan ni hosa.
Asa martua hita jolma mamungka ulaonta,
Baen damang ma jolo Gondang Mulamula.
Ada kalanya Gondang Mulamula disatukan dengan Gondang Somba, maka umpasa yang meminta gondang adalah :
Sianjur mulamula, sianjur mula tompa
Baen ma gondang mula-mula, laos padomu ma tu somba-somba.
2.    Gondang Somba (Somba tu Mulajadi)
Pemimpin meminta lagu gondang :
Amang pargual pargonsi. Mauliate ma nunga dibahen hamu gondang mulamula i. Saonari mangido ma hami tu Ompunta Mulajadi Nabolon, marsomba ujung tu adopanNa, asa denggan ulaon on sonang so hariboriboan, Asa rondang songon bulan, tiur songon mataniari tumpahon ni Ompunta Mulajadi,
Asa Si Raja Inda-inda ma si raja Indapati
Napajujungjujung pinggan di hos ni mataniari
Pasahat somba ma hami tu Ompunta Mulajadi
Asa tama manjalo tua pamatang nang tondi.
Lagu gondang ini lebih lama sedikit dari Gondang Mulamula, namun semua penari masih di tempat. Pimpinan panortor (atau bisa saja semua panortor) berkeliling di tempat mengambil sikap sembah ke empat penjuru angin.
3.    Gondang Sahala (Gondang Hasantian)
Pemimpin meminta lagu gondang :
Amang pargual pargonsi, nunga pos be rohanta laho manortorhon angka si las ni roha, asa songgop sahala raja ampe sahala tua, asa santi madingin santi matogu sude hita na pungu di son, asa mangelek ma hita tu Ompunta Mulajadi Nabolon, asa dilehon nataparsinta, sahala hagabeon, sahala harajaon, sahala hamoraon, dohot sahala habadiaon. Asa  baen damang ma gondang sahala, gondang hasantian.
Gondang ini kurang lebih sama lamanya dengan gondang somba. Pada zaman dulu lebih lama sedikit karena datu (pemimpin) ikut bersilat.
4.    Gondang Liat
Pemimpin meminta lagu gondang, sbb. :
Amang pargual pargonsi, nunga be las rohanta namanjalo sahala, uli na i antong hotor-hotor nigaungkon marliatliat, tupa do patarida las ni roha molo mangaliat, asa liat ma panggabean liat ma parhorasan, baen damang ma Gondang Liat.
Hematnya panortor berkeliling sekitar lapangan acara sebanyak tujuh kali, tetapi dewasa ini sering hanya satu kali saja (mungkin factor waktu). Gaya manortor lebih bebas, marembas (melompat-lompat dengan mengangkat kedua kaki sekaligus).
Sering terjadi pada waktu Gondang Liat ini menjadi kesempatan bagi hula-hula manabe-nabei pamoruon dengan menyandangkan ulosnya di bahu pamoruon, dan dibalas pamoruon dengan menyiuk (mengusapkan jari kedua telapak tangan) di dagu hula-hula.
5.    Gondang Pinta-pinta, Gondang Pasupasuan, atau Gondang Sahata Saoloan.
Pemimpin meminta lagu gondang, sbb. :
Amang pargual pargonsi, namalo mangida tingki, Maminta mangelek tu ompunta Mulajadi.
Asa dapotan hami dihasadaan,
sahata saoloan rap tu dolok rap tu toruan.
Songon ogung saparangguan namarsialusalusan, Namarhahamaranggi pe marsipasangapan,
Boru i hape paulaean.
Asa balintang pagabe nanitabotaboan,
horas jala gabe jala marsiaminaminan.
Baen damang ma Gondang Pintapinta,
mangido pasu-pasu, Gondang Sahata Saoloan.
Kerapkali para panortor berkelompok-kelompok berpegangan tangan sambil berkeliling. Ada kalanya orang yang dihormati (sedang didaulat, mis. penganten) menari ditengah.
6.    Gondang Simonangmonang (Olopolop)
Pemimpin meminta lagu gondang, sbb. :
Amang pargual pargonsi, par indahan na suksuk par lompan na tabo, di las ni rohanami nunga di dodo ho. Dao ma mara dao ma bingkolang, tiur ma nipi sonang so hariboriboan, monang maralo musu talu maralo dongan, baen damang ma olop-olopan, Gondang Simonangmonang.
Pada waktu lagu gondang ini kerap kali terjadi panortor marimbas.  (melompat-lompat dengan mengangkat kedua kaki sekaligus seraya mengebaskan kedua tangan ke samping pinggul). Dahoeloe pada panortoron gondang ini sering terjadi penarinya kemasukan roh, yang kemudian dimanfaatkan oleh datu menanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan situasi yang akan dating, tentang panen, dsb.
Bila pada waktu Gondang Liat (mangaliat) hula-hula memanfaatkan waktu untuk manabei  pamoruon maka kesempatan ini pula dimanfaatkan pamoruon mangolopi hula-hula, kedua tangan memegang ujung ulos dan mengusapkan ke dagu hula-hula dengan sikap sembah.
7.    Hasahatan Sitiotio.
Pemimpin meminta lagu gondang, sbb. :
Amang pargual pargonsi, mauliate ma di damang ala tio do suara ni sarunem, herbang jala ringgas tangan ni partaganingmu, hot do banggas ni gordang dohot hesekmu, mangolai tu halangulu do pangordit ni ogungmu. Nunga sahat pe sinita ni roha, ampe sahalatua. Asa sahat ma solu sahat tu bontean, horas hita di ngolu, dapotan panggabean.
Asa tinahu ma mual tio, binaen tu panuhatan
Baen damang Gondang Sitiotio, laos padomu ma tu Hasahatan.
Semua panortor memegang ujung ulos dengan kedua tangan, dan ketika Gondang Hasahatan terdengar maka semua penari melambaikan ulos ke atas sembari meneriakkan kata “HORAS” sebanyak tiga kali.
LAIN-LAIN.
1.    Dewasa ini, ketika orang mulai mempercakapkan ke’praktis’an dengan mempertimbangkan waktu yang sempit, maka sering kita lihat godang tidak sampai tujuh lagu lagi. Setelah panomunomuon (penyambutan), lalu terus gondang mulamula, gondang liat, gondang olopolop atau simonang-monang, lalu sitiotio/ hasahatan. Kadang hanya tiga gondang saja, yaitu "mula-mula", "liat (merangkap 4 gondang lainna), lalu "hasahatan".
2.    Gondang kelima hingga ke enam sering dimanfaatkan dengan nama lain, mis. :
•    Gondang Pinta-pinta menjadi Gondang Marmeme anak marmeme boru atau Menjadi Gondang Manduda, Gondang Solu Bolon, Gondang Husip, Gondang Si Bunga Jambu, Gondang si Unte Manis, dsb. Pada lagu gondang inilah biasanya para penari yang pandai mempertunjukkan kebolehannya, mis. panortor perempuannya manerser (menggeser tubuh dengan mengganti posisi telapak kaki dengan bentuk V), para pemuda gagah berpencak silat, tari sawan, dsb.
•    Gondang Simonangmonang menjadi Gondang Ria (Si las ni roha), Gondang Lidanglidang, Gondang Si Hutur Sanggul, dsb yang sifatnya gembira. Irama  Gondang Simonangmonang ini bisa saja berobah dari lembut ke keras atau sebaliknya, mis. Gondang Husip.
•    Masih banyak nama lagu gondang, masing-masing menurut sifat ulaon pesta tersebut.
Urutan Pemanggilan Manortor.
Sama seperti sudah diterangkan sebelumnya, ternyata ada berbagai versi pula di berbagai daerah, namun secara umum dapat diklasifikasikan urutan pemanggilan untuk manortor, sbb. :
1.    Mula-mula hanya hasuhuton dan kerabat dekat saja yang manortor (disebut "mambuat tua ni gondang")
2.    Tulang atau Hula-hula, tergantung jenis ulaon. Mis. Pesta kawin, maka lebih dahulu Hulahula.
3.    Bona Tulang
4.    Bona ni Ari
5.    Tulang Rorobot
6.    Hula-hula namarhahamaranggi (Pihak marga pengambilan abang beradik).
7.    Hula-hula naposo (Pihak pengambilan anak).
8.    Teman semarga (Dongan Tubu)
9.    Pariban (sepengambilan) pada ulaon saur matua bila laki-laki yang meninggal (katanya supaya paribannya terhibur). Atau pariban (wanita semarga ibu kita) bila wanita yang meninggal (katanya terbuka peluang bagi wanita semaga ibu melakukan penawaran sebagai pengganti).
10.    Boru (pihak laki-laki yang kawin dengan putri marga hasuhuton).
11.    Teman (ale-ale), se profesi,dsb.
12.    Serikat-serikat (punguan).
13.    Natuatua ni huta (Pengetua kampung), kadang diganung dengan Pemerintah Setempat, sekaligus paampuhon (bahwa ulaon/pesta telah selesai).
14.    Hasuhuton mangampu (mengucapkan terima kasih).










Kamus Kecil tentang Gondang (Musik Batak Toba), atau yang berkaitan dengannya.

Anggu, saparangguan = perangkat ogung terdiri dari 4 buah dengan nama doal, oloan, panggora, panonggahi.
Armarna, tiruan suara suling, oleh mulut atau hembusan angin di dahan pohon.
Bolon, Solu Bolon, tarian yang diiringi lagu yang mendayu, mengkisahkan sampan yang diterpa gelombang atau ditup angin.
Bona Gondang, berdiri paling dekat dengan pargonsi waktu menari.
Bonggarbonggar, balkon pada rumah Batak tempat pargonsi.
Bunga, Si Bunga Jambu, salah satu tarian yang diiringi musik gembira.
Marbujogo, suara gendang yang meng-gelegar.
Denggal, melengkungkan jari tangan ke arah belakang.
Doal, Mandoali, khusus pesta orang meninggal, Pardoaldoalan, sejenis sangkutan untuk menggantungkan ogung.
Duda, Gondang Manduda, tarian yang mengkisahkan proses menanam padi hingga menjadi beras.
Elak, Mangelakhon, memainkan bedil, tombak, atau pisau ketika menari.
Embas, Marembas, tarian melompat-lompat dengan mengangkat kedua kaki sekaligus seraya mengebaskan kedua tangan ke samping pinggul secara serempak. Talembas, tarian yang sama tetapi dengan berbaris dan melambai-lambaikan tangan.
Haro-haro, sejenis lagu gondang.
Horja Bius, pesta semua marga / seluruh penduduk kampung untuk memohon kesuburan tanah, hasil panen yang melimpah, kesehatan, kebahagiaan, dsb.
Husip, Gondang Husip, gondang yang ada interludenya hanya dengan bunyi sarune saja, sementara alat musik lainnya dihentikan.
Jojong, Marjojong, bunyi gordang yang bergetar.
Lahat, lahatan, tiang kayu yang dihiasi daun-daun dan bunga-bungaan, di mana hewan kurban diikat.
Lalas, mangalalas, menghiasi tiang lahatan.
Langgatan, sejenis altar tempat benda pusaka yang akan ditarikan diletakkan, biasanya dikawal ulubalang (serdadu).
Langsio, sejenis patung yang diletakkan di depan pargonsi bila seseorang mengangkat sumpah untuk menjadi pemimpin (hampung, hapal nagari, partuanon, raja).
Lidanglidang, lagu di mana para penari (terlebih wanita) memiring-miringkan kepala dan badan ke kiri atau ke kanan.
Lotung, Angung Lotunglotung, isak tangis sambil menari ketika seorang pemimpin (raja) meinggal yang diiringi oleh gondang dengan irama lambat.
Mahasa, Miak Mahasa, minyak yang dioleskan ke ogung supaya tetap mengkilat dan nyaring suaranya.
Malambut, Hasapi simalambut, kecapi yang ditata apik, gagang depannya direkat dengan cermin, dan sekujur badan diukir indah dengan warna hitam kemerah-merahan.
Malehat, Tungkot Malehat, tongkat dukun yang dupakai meramal ketika diselenggarakan gondang memanggil arwah.
Malim, Gondang Malim, gondang yang lagunya agung, lembut, dan lambat, dimainkan tanpa doal.
Maungmaung, memanggil-manggil dengan membunyikan sesuatu, misalnya membunyikan kaleng, mongmongan, ogung,  dsb.
Mongmongan, sejenis ogung yang dibunyikan untuk mengumpulkan orang.
Meme, Gondang Marmeme, tariannya seperti dansa, hula-hula menyelem-pangkan ulosnya ke bahu pamoruon sementara tangan satunya lagi memegang tangan atau bahu pamoruonnya. Hal yang sama orangtua kepada anaknya. Kadang si orangtua membelakangi dan menari sambil berjalan seperti menyeret lawan tarinya.
Ngongar, bunyi gendang (ogung) yang tidak jernih karena retak.
Noni, Simarnoninoni, gendang kayu yang salah satu ujungnya ditutupi dengan kulit (=taganing).
Odap, gendang yang kedua ujungnya ditutup dengan kulit. Mangodapodapi, memukul gendang dengan keras.
Ogung, gong, tempahan bagian
Ogung Sabangunan, seperangkat gendang.
Olop, olopolop. Mangolopi, pihak suhut yang dalam statusnya sebagai parboruon menyembah (menyiuk) hula-hula. Ada kalanya hula-hula diberikan minum tuak dan uang.
Onda, Marondaonda, menari sekeliling jenazah.
Ondas, Mangondasi, tari kematian sembari mengelilingi jnazah.
Palupalu, kayu bulat panjang yang dipakai memukul gendang (stick). Mamalu, mem-bunyikan alat musik “palu ma tagadingmi !”
Pansa, marpansa, tempat memotong-motong hewan kurban, dari atas pansa dilemparkan potongan daging menurut jambar.
Ria, Gondang ria (si las ni roha), menari bebas, melompat, berjalan ke samping, kesempatan pula memberi minum tuak para hula-hula, dsb.
Sanggul, Si Hutur Sanggul, nama lagu yang sangat gembira dalam tempo cepat, menginginkan penarinya untuk ikut menari cepat dan lincah hingga sanggul wanita penari bergoyang-goyang.
Sangke, Sangke ni Ogung. Sarung ogung (dari rotan yang dijalin) yang ada gantungannya.
Santi, sejenis persembahan. Sering berupa uang diberikan kepada pargonsi ketika meminta sebuah lagu gondang.
Saoan, cawan. Para ahli penari saoan dapat menari dengan mendemostrasikan 7 saoan tidak jatuh. 1 bh di kepala, 2 bh masing-masing di bahu kanan-kiri, 2 buah di kedua siku, dan 2 bh lagi di kedua telapak tangan.
Sapi, Mansapi Goar. Bernyanyi berirama mengikuti bunyi-bunyian (mis. sordam) untuk meramal pertautan nama, misalnya nama calon mempelai ; apakah mereka serasi, gabe, mamora, sangap ?
Serser, Manerser, bergerak ke kiri atau ke kanan ketika menari dengan cara meng-geser telapak kaki membentuk huruf V.
Siar, Siarsiaran, kesurupan ketika menari. Atau sengaja diminta lagu gondang yang kerapkali ada penarinya yang kesurupan.
Tali, patalitalihon, menyitem seperti gitar, biasanya mengatur suara ogung, hasapi, taganing (kalau kurang pas maka kulit penutupnya ditarik, atau ditekan).
Tastas Nambur, membuka jalan ke hutan sembari ada seseorang yang memainkan bunyi-bunyian (dimaksud memberitahukan bahwa manusia akan lewat dan binatang, atau begu penghuni hutan supaya menyisih). Mis. mencari kayu singa-singa rumah, singa-singa perahu, atau kayu bulat untuk peti mati.
Tea, Gondang Paneanea, membunyikan gondang agar roh leluhur, atau roh penjaga kampung kesurupan kepada seseorang
Togu, Si Togu na Hundul, salah satu lagu gondang Batak, biasanya dipakai ketika menyambut tamu, atau khusus memanggil  pamoruon yang masih repot di dapur.
Tomu, Gondang Panomunomuon, gondang menyambut kedatangan tamu lain yang telah menjadi jadwalnya ikut menari.
Tortor, Manortor, tarian adat Batak. Seluruh tubuh bergerak tapi tetap di tempat. Bila bergeser akan memakai istilah lain, misalnya mangaliat, manerser, marembas, dsb.
Tuhe, Gondang Tuhe, abang-beradik seia- sekata dalam pembagian tanah warisan disaksikan hampung dan penatua, untuk memberitahukan kepada khalayak dibuat jamuan makan dengan dihibur paruning-uningan.
Unte, Gondang Si Unte Manis, salah satu tarian yang menghendaki kaki berjingkat, kadang berjongkok. Temponya sedang.
Urdot,  mangurdot, menari mengikuti irama bergerak lembut.

Daftar Bacaan :
1.    Samosir, The Old Batak Society (Samosir Selayang Pandang), 1992 oleh P. Leo Josten OFM Cap. Penerbit Ordo Kapusin Regio Medan Pematang Siantar.
2.    Dari Panggung Sejarag Dunia I (1950), III (1954), H.J. van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, Dr. Prijohutomo, I.P. Simandjoentak, Penerbit J.B. Wolter – Djakarta – Groningen.
3.    Penuntun Adat Praktis, Cet. Keenam, 2000, oleh Jaulahan Situmorang/ Parumpasa
4.    Rumah Batak Toba, Usaha Inkulturatif, 1997, oleh Tano Simamora.
5.    Umpama Batak dohot Lapatanna, Penerbit PARDA P.Siantar oleh A.N. Parda Sibarani
6.    Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, Elizabeth Seeger. Penerbit J.B. Wolter, Djakarta, Groningen, 1952.
7.    Sejarah Melayu, A. Teuw Utrecht, September 1952.
8.    Sriwijaya, Prof. Dr. Slametmuljana.Percetakan Arnoldus, Ende, Flores NTT
9.    Manuskrip : Samosir, Silsilah Batak, H.J.A. Promes OFM Cap, Terjemahan oleh Leo Joosten OFM Cap dan Paulus Sihombing, BA. Penerbit Bina Media Pematangsiantar, 1996.
10.    Tarombo dan Sejarah (Simbolon Tuan Juara Bulan), 2007, Bahan Pembanding Untuk Kalangan Sendiri oleh Op. Hasudungan Simbolon.
11.    Pustaha Batak, Tarombo dohot Turi-turian Bangso Batak,1926  oleh W.M. Hutagalung.
12.    Kamus Batak Toba Indonesia, J. Warneck. Terjemahan P. Leo Joosten, OFM Cap, Penerbit Bina Media Medan, 2001.
13.    Simpang-siur Tarombo Yang Menimpa PARNA, Bahan Pembanding oleh Op. Hasudungan Simbolon, 2007.
14.    Ulos Batak, Hakekat/Makna dan Penggunaannya dalam Upacara Adat, oleh C.B. Tampubolon (O.R. Boksa II), Percetakan Gunung Mulia, 1986.










Sekilas Mengenai Pengarang
Op. Hasudungan Simbolon yang menyusun buku ini adalah anak ke empat dari sepuluh bersaudara,  lahir di Siambalo, sebuah desa di pinggiran Danau Toba + 4 KM dari Pangururan ibu kota Kabupaten Samosir dengan nama kecil Japesta Darius Simbolon. Kisah kelahiranya membawa kesan tersendiri bagi keluarga, bukan saja karena saat itu ompungnya (nenek) yang sudah dikucilkan di liang (gua) sembuh dari penyakit kusta, tetapi juga karena dia lahir pada malam Natal (25 Desember 1949). Ibunya Panuria Concessa Br. Sinaga terpaksa pulang dari kebaktian di gereja, dan melahirkannya di rumah tanpa pertolongan orang lain, sementara ayahnya Beat Alfonso Saidi Simbolon masih memimpin kebaktian di gereja.
Usia 4 tahun penulis pernah mati suri, dikira sudah mati. Para keluarga berdatangan. Ibunya yang terus bersedih sekilas seperti melihat ada gerakan di bibirnya, lalu ibunya meneteskan air jeruk purut ke mulutnya. Syukurlah, tidak jadi mati,  acara penguburan yang sudah sempat dilaksanakan di rumah tidak perlu dilanjutkan lagi.
Tahun 1972 mendirikan mahligai rumah tangga dengan Caecilia Magdalena Br. Sitompul dan dikarunia 4 putra 2 putri, dan beberapa orang cucu.
Pada pesta-pesta gereja di parokinya (ketika masih di Paroki Siantar-II) kerapkali didaulat memimpin untuk memulai gondang (mananti mambuat tua ni gondang).
Setelah meninggalkan Bank Rakyat Indonesia tahun 1974 pria hitam dan berkaca-mata ini mencoba-coba melukis, membuat puisi, dan mengarang lagu dengan memakai nama Papaoejoeng-S. Hal ini berlanjut sebagai kegiatan sekunder di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan perkebunan selama lebih tigapuluh tahun di Bah Jambi, Kalimantan Barat, Marjandi, dan Langkat.
Bakat alamnya sangat mendukung meskipun pengetahuan notasi hanya paspasan. “Tujuh Amanat Salib” adalah karya puisi dan lagu yang sudah direkam dan pernah tampil di tv. Tarombo dan Mars Simbolon Tuan Juara Bulan serta Mars PARNA diselesaikannya dalam masa pensiunnya.